Surat yang diberikan Pingkan untuk Sarwono ditulisnya diam-diam dalam remangnya malam tempatnya melepaskan seluruh kesakitan ketika raganya tak mampu menyentuh tubuh Sarwono. Surat itu dititipkan dalam 1000 origami berbentuk bangau yang digantungkan pada kamar milik Sarwono.
Aku awali surat ini dengan nama jarak yang sengaja kulipat cantik dan berwarna-warni pada setiap lembar origami yang kugantungkan. Dia melihat dan mendengar seluruh ratapan doaku pada tiga puluh menit jam dua belas. Mantera yang senantiasa kulafalkan agar kau cepat bangun.
Ini adalah seribu helai kesedihanku yang telah disederhanakan, yang telah dikirim oleh jiwa yang dipenuhi duka cita kepada jiwa yang lainnya. Ia datang dariku yang bertanya-tanya tentang hidup ini. Mengapa selalu ada yang terjadi tetapi tidak untuk bisa dipahami, No?
Sarwono, cintaku. Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Ke sana, Saudara, ke sana.
Sarwono, kasihku. Selalu ada kapal yang mendadak bergoyang bahkan ketika tidak ada sama sekali angin di samudra bahkan ketika tidak ada pun yang terasa bergerak kecuali dua ekor camar yang sudah terbang terlalu jauh ke samudra dan merasa sangat letih tetapi tidak melihat apa pun yang bisa dihinggapinya kecuali sebuah bahtera yang bergoyang keras ke sana kemari terlempar ke atas menghunjam kembali ke permukaan menciptakan percik-percik air dan melempar-lemparkan gumpalan-gumpalan air sehingga tidak mungkin dihinggapi tiang layarnya walau hanya sejenak. Walau demi dua ekor camar sangat letih yang terus-menerus terbang agar tetap bisa memelihara kasih sayang. Walau hanya sejenak.
Sarwono, semua kalimat tersebut pernah kukatakan kepadamu, dan kau katakan kepadaku. Hatiku tersayat sehingga terluka ketika aku tak mampu menemanimu di tengah pengembaraan yang serba kesepian. Ya. Kini aku sendiri pun tak mengerti, di manakah aku berada? Ragaku bingung menentukan apakah aku tengah berada di alam nyata atau sedang berpetualang di alam bawah sadar sambil mencarimu?
Sarwono, hidupku semakin hari semakin mengabur. Ramalan yang dikatakan Katsuo tentang ruhmu yang tengah mengembara membuatmu semakin hancur. Apalagi hendak kau temukan, No? Tidakkah cukup ada aku di sampingmu dan semua kebahagiaan milik kita.
Kasihku! Aku percaya dengan takhayul dari negeri Sakura yang sering kau gaungkan padaku, bahwa 1000 origami bangau mampu mengabulkan keinginanku. Keinginanku hanyalah satu, agar dirimu sembuh dan kembali padaku.
Aku telah melakukan segalanya untuk memikul kesedihanmu, segalanya kecuali satu: aku tidak datang sendiri padamu, karena itu mustahil. Aku tidak mampu menjangkaumu. Tapi apalah artinya itu? Seperti kataku, kita tepisah dalam tubuh, tapi ruh kita satu: jiwaku selalu bersamamu sepanjang waktu.
Inspirasi: Novel "Pingkan Melipat Jarak"
Aku awali surat ini dengan nama jarak yang sengaja kulipat cantik dan berwarna-warni pada setiap lembar origami yang kugantungkan. Dia melihat dan mendengar seluruh ratapan doaku pada tiga puluh menit jam dua belas. Mantera yang senantiasa kulafalkan agar kau cepat bangun.
Ini adalah seribu helai kesedihanku yang telah disederhanakan, yang telah dikirim oleh jiwa yang dipenuhi duka cita kepada jiwa yang lainnya. Ia datang dariku yang bertanya-tanya tentang hidup ini. Mengapa selalu ada yang terjadi tetapi tidak untuk bisa dipahami, No?
Sarwono, cintaku. Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Ke sana, Saudara, ke sana.
Sarwono, kasihku. Selalu ada kapal yang mendadak bergoyang bahkan ketika tidak ada sama sekali angin di samudra bahkan ketika tidak ada pun yang terasa bergerak kecuali dua ekor camar yang sudah terbang terlalu jauh ke samudra dan merasa sangat letih tetapi tidak melihat apa pun yang bisa dihinggapinya kecuali sebuah bahtera yang bergoyang keras ke sana kemari terlempar ke atas menghunjam kembali ke permukaan menciptakan percik-percik air dan melempar-lemparkan gumpalan-gumpalan air sehingga tidak mungkin dihinggapi tiang layarnya walau hanya sejenak. Walau demi dua ekor camar sangat letih yang terus-menerus terbang agar tetap bisa memelihara kasih sayang. Walau hanya sejenak.
Sarwono, semua kalimat tersebut pernah kukatakan kepadamu, dan kau katakan kepadaku. Hatiku tersayat sehingga terluka ketika aku tak mampu menemanimu di tengah pengembaraan yang serba kesepian. Ya. Kini aku sendiri pun tak mengerti, di manakah aku berada? Ragaku bingung menentukan apakah aku tengah berada di alam nyata atau sedang berpetualang di alam bawah sadar sambil mencarimu?
Sarwono, hidupku semakin hari semakin mengabur. Ramalan yang dikatakan Katsuo tentang ruhmu yang tengah mengembara membuatmu semakin hancur. Apalagi hendak kau temukan, No? Tidakkah cukup ada aku di sampingmu dan semua kebahagiaan milik kita.
Kasihku! Aku percaya dengan takhayul dari negeri Sakura yang sering kau gaungkan padaku, bahwa 1000 origami bangau mampu mengabulkan keinginanku. Keinginanku hanyalah satu, agar dirimu sembuh dan kembali padaku.
Aku telah melakukan segalanya untuk memikul kesedihanmu, segalanya kecuali satu: aku tidak datang sendiri padamu, karena itu mustahil. Aku tidak mampu menjangkaumu. Tapi apalah artinya itu? Seperti kataku, kita tepisah dalam tubuh, tapi ruh kita satu: jiwaku selalu bersamamu sepanjang waktu.
Inspirasi: Novel "Pingkan Melipat Jarak"