Saturday, June 23, 2018

Matahari yang Layu Seketika Merekah Kembali


Butuh waktu bertahun-tahun untuk mempertahankan keindahan sinarmu, duhai kekasih. Salah sedikit, kau merajuk kesal selangkah pergi menjauh. Meski wajahku sedang dirundung awan gelap, kau tak mau mengerti. Yang ada di otakmu hanya tentang dirimu yang mau disayang-sayang.

Aku mengerti, dulu usiamu masih belia, sedang tumbuh suburnya melewati perkembangan tahap pertama, asyik menikmati banyak mulut-mulut berkomentar tentang parasmu dan rona merah pada pipimu, katanya kau lucu, hingga kau tak mau sehelai bulupun merusak kesempurnaan itu, termasuk diriku.

Pernah suatu malam, kau merajuk, setelah beberapa hari menghilang tak tahu kemana, jelas aku mau tahu, namun kau tak mau tahu mauku. Kau lelah setelah berjibaku dengan sejuta rumus pasti yang memusingkan kepala. Waktu itupun perutmu asyik berteriak minta diisi, namun terlampau malam tak ada satu gerobak nasi goreng berteriak minta dibeli.

Kau menuntutku untuk bisa memuaskan laparmu, mana bisa? Memangnya aku makanan! Lagi-lagi kau tak mau tahu, dan aku tak paham maumu. Sungguh kesalnya diri, bak seekor angsa kehilangan setengah hatinya, tak mau makan, tidurpun tak tenang. Ujug-ujug datang belahan jiwanya, memang senyum tak dapat disembunyikan, namun seketika digores perlahan membentuk lengkungan terbalik, kau membuat otakku panas selayaknya lahar gunung Krakatau.

Aku menyerah, keheranan dengan sisi lain dirimu, bagaimana bisa pintar sekali otakmu namun bodoh sekali dirimu. Aku ikut-ikutan merajuk.

Ku kira kau bakal meluluh, bak merpati yang jinak mendengar auman singa betina. Tetapi aku salah, kau semakin tak karuan memporak-porandakan hatiku, lalu merangsek tertatih menuju pintu tak dikunci itu.

Kamu pergi, meninggalkan amarah dan luka dalam.

Aku hidup melewati 36 bulan umpama mati enggan hidup tak mau. Kering kerontang tubuh ini dibuatmu, tak stabil emosiku, sebentar kemarau lalu badai datang mengguyur dedaunan.
Dengan seenak jidatmu yang tak lebar itu, kau datang kembali membawa maaf serta pengertian untukku. Heh seenakmu saja! Kau pikir aku sudi membawamu masuk kembali. Kuncinya sudah kureparasi dan pintunya sudah diganti. Kunci milikmu tak lagi berlaku.

Tapi tunggu dulu, mungkin saja masih ada jalan bagimu, ku beritahu sedikit rahasia, terdapat 4 sisi ventilasi yang muat untuk tubuh gempalmu, selanjutnya tinggal bagaimana usahamu untuk menemukannya.



Ditulis tanggal 23 Juni, Tengah Malam.
Share:

Saturday, June 16, 2018

Saturday, June 2, 2018

Semua dengan Caramu


Kutuliskan pesan kekecewaan terhadapmu yang datang sesuka hati dengan membawa kesakitan untuk kunikmati dalam sunyinya malam. Ini memang bukan tulisan sumpah serapah untuk seorang yang memang telah menjadi brengsek. Namun tulisan ini untuk menjawab seluruh diksimu yang masih tentang aku.

Hari itu kamu memintaku untuk bertemu. Setelah lebih dari 365 hari tak ada kesepakatan untuk bersua. Apakah kamu mulai merindukanku?

Berangkatlah sepasang kaki menuju jalan yang tak asing lagi. Rasanya aneh menginjakkan kaki untuk bertemu objek yang sangat ingin kurengkuh sebab rindu telah lama menahan diri.

Mengapa? Tanyaku kepada sosok yang tengah menenggelamkan kepalanya pada kursi taman tempat kita dulu memadu kasih. Kamu membatu. Jelas tertangkap inderaku pada otot-ototmu yang seketika menegang sebab kamu tak menyangka aku memenuhi permintaanmu.

Mengapa? Tanyaku untuk yang kedua kalinya, memastikan bahwa kamu tak menjawab yang pertama sebab tak mendengarnya. Namun tak juga kudapati suaramu menghentikan kecanggungan ini.

Kamu meminta untuk bertemu, hanya ingin sukma ini menatap saja? Bukankah kamu rindu kepadamu? Ayo katakan, aku ingin mendengar suaramu, sangat ingin. Tak mau? Aku pulang saja ya.

Ternyata suaraku masih dikenali. Dulu sekali, kamu bilang bahwa hatimu tak tahan mendengarku yang mulai merajuk. Kepalamu mulai mengadah, kudapati netramu yang merah, kamu baik-baik saja?

Aku ingin kita berhenti mencoba. Bukan, tetapi kamu. Aku ingin kamu untuk berhenti mencoba. Jalinan ini tak akan pernah berhasil, sebab aku tak ingin lagi menggenggam tanganmu. Perasaanku tak lagi sama denganmu. Aku mengatakannya sebab ku tak ingin kamu terlalu lama menungguiku dan air mata terus membasahi pipi meronamu.

Hanya seperkian detik untukku menikmati suaramu sebab kamu kembali terdiam dan menatap kerikil di bawah kakimu.

Kamu benar-benar mewujudkannya. Mewujudkan perkataanku di taman waktu itu, tentang aku yang lebih baik ditinggalkan ketika orang yang terkasihi itu berbuat hal yang bisa dikatakan brengsek. Kamu putuskan untuk menjadi seperti itu dan aku tak mengetahui alasannya. Sebab tak ada tanyaku yang kamu jawab.

Hari ini lagi-lagi aku melihat tulisanmu. Memang benar aku membencimu sangat dalam. Tapi kamu salah tentang satu hal, kamu salah tentang mata ini. Ku katakan sekali lagi kamu salah bila menganggap mata ini tak lagi rela menitikkan air mata dan membasahi pipiku. Nyatanya selepas kepergianmu hingga 365 hari berikutnya, air mataku masih setia mengenang tentang dirimu.

Kamu selalu menyimpulkan segala sesuatu sendiri tanpa pernah bertanya atau memberitahuku. Kamu sibuk meyakinkan dirimu bahwa aku benar-benar telah menyesal percaya kepadamu.

Kamu tak pernah berubah, semua masih sama seperti dahulu, termasuk hatimu yang masih mencintaiku sebab tulisanmu masih melulu tentang aku.

Share: