Kutuliskan pesan kekecewaan terhadapmu yang datang sesuka hati dengan membawa kesakitan untuk kunikmati dalam sunyinya malam. Ini memang bukan tulisan sumpah serapah untuk seorang yang memang telah menjadi brengsek. Namun tulisan ini untuk menjawab seluruh diksimu yang masih tentang aku.
Hari itu kamu memintaku untuk bertemu. Setelah lebih dari 365 hari tak ada kesepakatan untuk bersua. Apakah kamu mulai merindukanku?
Berangkatlah sepasang kaki menuju jalan yang tak asing lagi. Rasanya aneh menginjakkan kaki untuk bertemu objek yang sangat ingin kurengkuh sebab rindu telah lama menahan diri.
Mengapa? Tanyaku kepada sosok yang tengah menenggelamkan kepalanya pada kursi taman tempat kita dulu memadu kasih. Kamu membatu. Jelas tertangkap inderaku pada otot-ototmu yang seketika menegang sebab kamu tak menyangka aku memenuhi permintaanmu.
Mengapa? Tanyaku untuk yang kedua kalinya, memastikan bahwa kamu tak menjawab yang pertama sebab tak mendengarnya. Namun tak juga kudapati suaramu menghentikan kecanggungan ini.
Kamu meminta untuk bertemu, hanya ingin sukma ini menatap saja? Bukankah kamu rindu kepadamu? Ayo katakan, aku ingin mendengar suaramu, sangat ingin. Tak mau? Aku pulang saja ya.
Ternyata suaraku masih dikenali. Dulu sekali, kamu bilang bahwa hatimu tak tahan mendengarku yang mulai merajuk. Kepalamu mulai mengadah, kudapati netramu yang merah, kamu baik-baik saja?
Aku ingin kita berhenti mencoba. Bukan, tetapi kamu. Aku ingin kamu untuk berhenti mencoba. Jalinan ini tak akan pernah berhasil, sebab aku tak ingin lagi menggenggam tanganmu. Perasaanku tak lagi sama denganmu. Aku mengatakannya sebab ku tak ingin kamu terlalu lama menungguiku dan air mata terus membasahi pipi meronamu.
Hanya seperkian detik untukku menikmati suaramu sebab kamu kembali terdiam dan menatap kerikil di bawah kakimu.
Kamu benar-benar mewujudkannya. Mewujudkan perkataanku di taman waktu itu, tentang aku yang lebih baik ditinggalkan ketika orang yang terkasihi itu berbuat hal yang bisa dikatakan brengsek. Kamu putuskan untuk menjadi seperti itu dan aku tak mengetahui alasannya. Sebab tak ada tanyaku yang kamu jawab.
Hari ini lagi-lagi aku melihat tulisanmu. Memang benar aku membencimu sangat dalam. Tapi kamu salah tentang satu hal, kamu salah tentang mata ini. Ku katakan sekali lagi kamu salah bila menganggap mata ini tak lagi rela menitikkan air mata dan membasahi pipiku. Nyatanya selepas kepergianmu hingga 365 hari berikutnya, air mataku masih setia mengenang tentang dirimu.
Kamu selalu menyimpulkan segala sesuatu sendiri tanpa pernah bertanya atau memberitahuku. Kamu sibuk meyakinkan dirimu bahwa aku benar-benar telah menyesal percaya kepadamu.
Kamu tak pernah berubah, semua masih sama seperti dahulu, termasuk hatimu yang masih mencintaiku sebab tulisanmu masih melulu tentang aku.
0 comments:
Post a Comment