Thursday, December 27, 2018

Pada Cermin dan Pantulnya

Tahun ini, sudah berapa kali dipatahkan?

Aku bertanya pada pantulan cermin.

Kira-kira, sudah tak terhitung jumlahnya.

Aku masih ingat siapa saja manusia-manusia yang tak manusiawi itu. Bagaimana mereka lalu abai ketika telah berhasil menyentuh titik terapuh dalam diriku.

Hatiku yang terlalu sering terkoyak, masih berusaha untuk disembuhkan.

Bahkan aku sudah memikirkan strategi pembalasan dendam paling ampuh. Aku sudah membayangkan bagaimana tawa itu pecah ketika panah itu tepat menembus sempurna.

Namun, aku terlalu takut, pada karma yang akan mengoyak hatiku lebih kejam lagi.

Lagi-lagi aku hanya bisa meringkuk di sudut ruang, seakan terpojokkan. Mundur perlahan dengan muka tertunduk.

Biarlah.
Biarlah ini menjadi rasa sakitku saja.
Mungkin ada baiknya untukku.
Suatu hari nanti.

Share:

Wednesday, December 26, 2018

Kawa, Mungkin Takdir Tak Pernah Melihat Kita

Kawa, izinkan kukoreksi perihal hitunganmu tentang berapa lama sua tidak terlaksana. Bukan dalam lima purnama, itu terlalu sedikit. Sekiranya seperempat windu. Jangan jumlah temu dalam bunga tidurmu, itu tidak masuk dalam hitungan.

Ya, Kawa. Mengerti betul aku tentang bayang yang tak dapat lagi kamu ingat. Biar kupaparkan hal yang harus kau ketahui, bahwa tak lagi ada yang sama dalam diriku dahulu. Rambutku tak lagi pendek, kubiarkan memanjang agar dapat menamparku saat lupa, bahwa jarak kita sudah sedemikian membentang luas. Menangis bukan lagi makanan sehari-hariku, sebab muak sudah kutelan berikut dengan seluruh rindu dan perih yang kau tinggalkan.

Lantas, mengapa masih kau tulis tentangku? Mengapa masih ada aku dalam hidupmu sedang kau meronta minta dilepaskan. Jangan pernah bandingkan aku dengan para gadis molek yang merayumu, itu. Kau minta seorang yang mau mendengar isakmu pukul tiga pagi? Biar kuingatkan bahwa dulu kau pergi sebab aku tahan menghadapi seluruh kelammu.

Jangan. Tak perlu lagi kau jabarkan seluruh kesakitan, mimpi burukmu hanya untuk mengemis sebuah iba. Aku tak lagi sudi masuk ketika pemiliknya dahulu pernah mengusirku dengan sebegitu kasarnya sampai terseok-seok aku mencari jalan keluar dari buanamu.

Jika Tuhan tak segera membunuhmu, maka jadikanlah iba Tuhan terhadap nyawamu sebagai anugerah yang harusnya kau syukuri! Lekas tinggalkan album tentangku dan berhentilah menggerayangi bolpoin jika sajakmu masih tentang aku.

Kawa, mungkin takdir tak pernah melihat kita. Berhentilah Kawa. Semoga kau lekas sembuh. Seorang pesakitan sepertimu butuh obat, jangan hanya sibuk do'akanku senantiasa bahagia, berkacalah sebab kau sendiri butuh welas asih ragamu.

Share: