Tuesday, January 28, 2020

Semoga Lekas Sembuh

Halo, Mas. Kabar baik?
Malam ini ntah mengapa udara rasanya sulit untuk didapat, padahal tidak ada tanda-tanda hujan di luar sana. Tapi entah mengapa mataku berkali-kali menurunkan hujan dengan lebatnya. Malam ini, Mas, aku tidak akan menceritakan tentang dirimu. Namun, Ia lelakiku hampir setengah tahun ini. Aku sudah berdamai dengan masa lalu, rasa sakit yang dulu tidak sengaja kau hadiahkan padaku. Kali ini, Mas. Aku merasa akan terulang lagi, namun oleh subjek yang berbeda. Rasa sakit yang tiap malam menghantuiku dengan sebegitu hebatnya hingga tak rela melepasku untuk tertidur, padahal aku butuh istirahat dari waktu yang tetiba berjalan begitu lambatnya.

Mas. Apakah kejadian ini merupakan karma dari Tuhan? Ah mengapa? Dulu aku tak pernah menyakitimu, namun mengapa Tuhan tega membalaskan sesuatu yang tidak kuperbuat? Lelakiku itu berbeda darimu, aku yakin Ia takkan segan menyakiti hatiku dengan sengaja. Namun, aku belum tahu apakah ia juga tidak akan menyakiti dengan sengaja?

Aku berharap, jika memang tak ada lagi aku dan dia, seperti dahulu kau melepas semua, aku mampu menerimanya. Tuhan yang punya semua rasa ini, lagi-lagi aku harus mengikuti permainannya. Namun setidaknya, beritahu bagaimana agar aku tidak merasakan sakit yang dulu pernah diderita?

Aku tidak ingin hidup diantara kehampaan untuk kedua kalinya. 
Share:

Friday, January 10, 2020

Stigma 1 - Kalau Kulitku Gelap, Aku Gak Cantik Ya?

"Eh... Eh.. Liat deh kulit gue iteman ya? Duh pasti kumel banget deh!" gerutunya.
"Nggak kok, biasa aja. Emang kenapa kok panik gitu?"
"Nanti gue gak cantik lagi kalo item."

Tulisan ini muncul begitu saja saat kemarin saya sedang mendandani teman-teman untuk keperluan pementasan. Pementasan teater identik dengan makeup super tebal, terutama pembuatan garis-garis di muka ( face contouring) dengan menggunakan warna gelap seperti cokelat tua.

Tiba-tiba saya merenungi produk contouring dan bertanya-tanya.
Kalau warna kulit muka gue segelap cream tersebut gimana ya?
Terbesit kekhawatiran yang sebenarnya sangat tidak penting dalam benak saya. Ya wajar saja, dari dulu, di lingkungan tempat saya tinggal, bukan hanya di sana saja, tepatnya di Indonesia, warna kulit menjadi salah satu kriteria standar kecantikan perempuannya.

Untuk saya yang memang warna kulitnya tidak terlalu gelap mungkin hanya menjadikan topik tersebut sebagai angin lalu. Namun saya kembali berpikir, hal ini ternyata pernah adik saya alami saat masih kecil, yap.

Sedikit kilas balik, saya dan adik memang dulu memiliki warna kulit yang cukup kontras. Saya dengan kuning langsat yang cenderung terang dan adik saya cokelat gelap. Yah, lagi-lagi hal tersebut menjadi konsumsi orang-orang sekitar untuk bahan perbincangan mereka. Salah satunya adalah tetangga saya.
"Eh Bonyok, sini main.."
Ya benar, oleh 'orang' tersebut adik saya dipanggil Bonyok. Dulu ketika saya masih SD, saya belum mengetahui arti kata bonyok. Lalu dengan ekspresi muka lugu serta keingintahuan besar saya bertanya kepada yang bersangkutan.
"Emang bonyok artinya apa sih, Bu?"
Beliau tidak menjawab. Memang pada saat itu, adik saya sempat jatuh dan bibirnya luka. Mungkin itu maksudnya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, luka pada bibir adik saya sudah sembuh panggilan tersebut tetap melekat kepadanya.

Hari ini, setelah saya merenungi produk contouring, saya iseng mencari arti kata tersebut untuk memastikan dan menghindari dari sikap berburuk sangka.

Menurut KBBI, bonyok memiliki arti
memar dan lunak (tentang buah dan sebagainya); sangat lembek dan agak busuk (tentang makanan, ikan, dan sebagainya)
Buah yang agak busuk atau buah yang terlalu matang sehingga akan busuk mulai mengalami perubahan warna pada kulitnya menjadi kehitaman. Lalu saya berpikir, loh ini gak salah 'orang' itu berkata tersebut? Jadi selama ini adik saya dirundung!

Pantas saja, mulai SD akhir ia benar-benar rajin melakukan perawatan kulit, untuk anak SMP (saya) hal tersebut benar-benar memukau saya.
"Widih.... Adek gue rajin banget. Kalah deh gue.." begitu pikirku.
Alhamdulillah, usaha dan sabarnya membuahkan hasil,  warna kulitnya menjadi terang. Tidak saya pungkiri sih, ini ada kaitannya dengan gen ayah dan ibu saya yang memang kedua warna kulitnya putih, mungkin saja kan seiring berjalannya waktu warna kulit adik saya memang bisa lebih terang, tetapi ditambah dengan 'kerajinan' dia untuk melakukan perawatan sehingga hasilnya bisa dilihat tidak terlalu lama.

Yah, Dik. Mau warna kulitmu hijau, biru, atau pink, di mata kakakmu stigma tersebut tidak berlaku. Kamu tetap cantik, lucu, imut, dan menggemaskan kok.

Iya iyaaa. Pesan tersebut tidak hanya akan saya sampaikan kepada orang lain, saya juga akan membenarkan pola pikir tersebut terhadap diri saya yang juga sering berkata:

"Eh... Eh.. Liat deh kulit gue iteman ya? Duh pasti kumel banget deh!" gerutunya.
"Nggak kok, biasa aja. Emang kenapa kok panik gitu?"
"Nanti gue gak cantik lagi kalo item."
 Memang sulit sih untuk menghilangkan rasa insecurity dari diri sendiri, lagipula hal tersebut adalah lumrah dimiliki manusia. Tentunya dengan kadar yang pas ya...
Share:

Tuesday, January 7, 2020

Pantulan Cermin yang Berbicara dengan Syahdu

Untuk Maya di seberang dimensi,

Dengan segala kelembutan hatimu yang sengaja

ditutupi, sebab menurutmu menjadi lembut berarti lemah.

Rapuh yang senantiasa melekat pada

hari-harimu yang tak selalu muram,

tak berarti kau tidak mampu melewatinya.

Setiap proses dari jalan yang kau pilih,

semua sesal yang tiada hentinya,

akan ada akhirnya jua.

Dan bila kelak kau berhenti sejenak,

Tataplah daku di depanmu, dengan senyum merekah,

yang didambakan.

Share:

Insekyuriti Kakak

"Kenapa ya, semakin tua manusia, rasa keberanian yang dipunya semakin berkurang?" Kakak tiba-tiba bersuara.

"Kok kakak nanya Mila, sih? Mila kan masih kecil. Bukan... Lebih tepatnya Mila jauh lebih muda dari kakak, dan Mila masih muda. Duh bukan.. Maksudnya kakak jauh lebih banyak makan garam."

"Hah? Makan garam, Mil. Aneh-aneh aja kamu. Kamu tau sendiri Kakak kan sedang diet, no sodium! HAHAHAHAHA.. Aduhh... Perut kakak sakit.." Kakak tiba-tiba terbahak.

"Ihh bukan gitu, Kak. Itu loh yang ungkapan makin tua makin banyak garam. Eh? Apasih... Ya gitu deh kak."

"Asam garam kehidupan, Mil? Hahahaa. Eh, Mil, Kakak jadi kepikiran. Garam kan asin ya bukan asam." Kakak tiba-tiba bertanya.

"Duh Kakak.... Stop bertanya yang aneh-aneh deh. Mila gak tau, Kak. Kan yang anak IPA itu Kakak bukan Mila."

"Ihh Mila... Kamu belajar bahasa Indonesia gak sih? Itu tuh pertanyaan retoris. Re-to-ris Mila... Gak perlu kamu jawab." Kakak tiba-tiba gemas.

"Lah? Daritadi Mila salah terus. Emang ya orang dewasa tuh suka menyalah-nyalahkan yang lebih muda."

"Bukan gitu, Mil. Gak ada hubungannya umur sama sikap.. Lagian daritadi Kakak gak nyalahin kamu kok. Kakak kan cuma memberi tahu supaya adik Kakak tidak keliru, Mil." Kakak berbicara panjang lebar.

"Nah! Itu berani, Kak."

"Hah? Gimana, Mil?" Kakak mengerutkan keningnya.

"Tadi kan kakak nanya Mila. Eh bukan nanya deh. Tadi kan kakak ngomong sendiri tuh, kenapa semakin tua rasa keberaniannya semakin berkurang. Nah, menurut Mila gak begitu tuh. Buktinya Kakak berani memberitahu Mila hal yang benar."

"Terus?" Kakak tidak sabar menanti kelanjutannya.

"Mila tau di media sosial banyaaaaaak banget berita hoaks yang tersebar, apalagi di grup whatsapp keluarga kita. Nah, menurut aku tindakan Kakak yang tadi itu tuh adalah tindakan yang berani. Berani berbicara untuk meluruskan kekeliruan biar orang-orang jadi tahu dan gak salah lagi."

"Beda Mila... Maksud Kakak itu berani dalam melakukan hal-hal yang besar loh.." Kakak tidak setuju ternyata.

"Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, Kak! Kalau hal yang sepele kayak gitu aja Kakak berani, pasti Kakak juga bisa untuk berani dalam 'melakukan hal-hal yang besar loh' itu. Percaya deh sama diri Kakak!"

Kakak pun terdiam dan merenungi perkataanku.
Apa aku salah bicara lagi?
Huf....
Share: