Malam menyisakan sepi menemaniku yang masih terjaga. Pikirku, ini waktu terbaik untuk menulisi sajak untuknya, yang akhir-akhir ini menjadi candu.
Sekelibat memori berputar diatas langit malam, namun tak ada ia disana, hanya aku, wajah muram, dan sendu.
Aku tertohok, ribuan jarum menghujam jantungku, perih. Setelah selama ini, ribuan kata terukir manis pada beribu-ribu lembar kertas yang dipenuhi air mata, aku menyadari satu hal;
Ilusi mempermainkanku. Ia menciptakan begitu banyak potongan kejadian yang hanya ada aku disana, namun dengan kejamnya menambahkan sosoknya kedalam, yang telah menjadi poros hidupku selama ini.
Ketika aku mampu menyairkan kalimat indah untuknya, namun tergagu ketika objek menulisku adalah aku.
Aku yang tak pernah menyemangati diriku, namun sibuk merangkai prosa-prosa jatuh dan cinta untuk orang lain, agar ia tau apa yang kurasakan. Aku yang lengah membentengi diriku dengan paragraf-paragraf, sehingga aku terjatuh ke dalam jurang, yang mengakibatkan aku lalai kepadaNya.
Dan baru saja kusadari, bukan sosoknya, poros kehidupanku selama ini. Namun aku sendiri, diriku. Aku sang empunya hak untuk bahagia atau bersedih. Aku yang berkuasa menentukan pilihan-pilihan yang telah disiapkan olehNya.