Bandung, 15 Juni 2015.
Ga ada kesalahan yang kamu buat, saya yang mulai. Apa yang terjadi semua karena saya penyebabnya. Saya terlalu egois dengan diri saya sendiri dan karena itu, kamu jadi korbannya.
Kamu akan memandang saya sebagai orang yang penuh omong kosong, ya itu konsekuensi yang akan saya terima. Saya doakan yang terbaik untuk kamu. Maafkan saya menghilang begitu saja tanpa ada kabar. Saya sadar betapa bodoh dan egoisnya saya.
Semoga Allah kasih pelajaran yang sebanding atau melebihi dengan apa yang kamu rasakan karena saya. Maafkan juga, karena saya hanya berani mengutarakannya lewat surat ini. Sebelumnya saya sangat takut karena saya sadar betapa egoisnya tindakan saya, tapi saya tidak pernah bisa melarikan diri dari kesalahan saya ke kamu.
Terima kasih atas maafnya. Jangan balas surat ini.
Andra
Surat kedua dari Andra datang lagi, setelah tiga tahun berlalu. Semua perasaan terpendam yang tak aku keluarkan selama tiga tahun, bertubi-tubi menyerangku tanpa ampun, lebih ganas, dan mematikan.
Tiga tahun setelah surat yang berisi permohonan untuk jangan menunggu akhirnya berujung mengenaskan. Aku kira, ujungnya akan berbeda. Aku kira, kita akan bersama.
Semua terasa begitu masuk akal. Aku membencimu teramat dalam. Namun, hati kecilku masih punya sisi dermawannya. Melihatmu yang menghilang tanpa jejak, begitu saja. Dihantui oleh rasa bersalah kepadaku, kamu juga terluka. Kamu mengambil keputusan ini atas dasar bahwa tidak ada lagi yang boleh terluka. Lebih tepatnya, biarkan kita sama-sama merelakan luka itu tersiram sebotol cuka, tak akan pernah mengering. Agar kita sama-sama merasakan kesakitan itu.
Tak akan pernah lupa.
Tak akan pernah berpura-pura tidak ada hal buruk yang menimpa kita.
Namun, kamu tahu, Andra? Aku trauma.
Sampai detik ini, kalau kau mau tahu.
0 comments:
Post a Comment