Bandung, Desember 2012
Kegiatan menyanyiku terhenti ketika ketukan pintu terdengar, disusul dengan suara Andin, adikku.
"Kak, ada surat dari Abang. Tadi Abang kesini tapi cuma nitipin surat ke Andin. Pas Andin tanya mau dipanggilin kakak atau enggak, dia malah pamit pulang."
Aku mendengar jelas apa yang dikatakannya, tetapi memilih untuk pura-pura tidak peduli. Hanya ada suara pancuran air menandakan aku sedang mandi.
Andin pasti heran dengan sikap kakaknya yang tiba-tiba acuh, karena biasanya aku bersikap berlebihan ketika seseorang menyebut namanya, Andra, yang dipanggil Abang oleh Andin.
"Aku taruh di meja, ya."
Terdengar suara pintu tertutup, menandakan Andin telah hengkang dari kamarku. Dengan tergesa-gesa aku keluar dari kamar mandi. Sebuah amplop berwarna kuning dengan prangko bergambar bunga matahari di sudut kanan, berada di atas meja belajar, yang kuyakini adalah surat dari Andra.
Ragu-ragu aku mengambil amplop tersebut dan membukanya. Dengan cepat aku membaca isi suratnya, secepat itu pula air mata berlomba keluar dari mataku.
Bandung, 26 Desember 2012
Selamat Malam.Berhenti bukan berarti menyerah,Berlari bukan berarti ingin sembunyi,Pergi bukan berari meninggalkan.
Selama ucapan selamat tinggal belum keluar dari mulutku, bukan berarti yang kulakukan nanti adalah bermaksud untuk menghapus kamu dari kehidupanku.
Lama ataupun sebentarnya suatu kisah, bukan menjadi suatu pengukur berhasil atau tidaknya suatu hubungan.
Ingat,Jangan cari aku, sudah tugasku nanti untuk mengejarmu. Apalagi mengejarku, nanti kamu terjatuh. Aku tak punya waktu untuk menunggu luka itu sembuh.Berhentilah menunggu, nanti kamu lengah dan bosan.
Satu hal yang terpenting, bermimpilah selagi kamu masih bisa bermimpi.
Andra,di tempat yang kamu ketahui.
Air mata masih mengalir melewati pipi hingga membasahi surat tersebut, membuat lingkaran besar di tengah-tengah kertas. Pikiranku masih berantakan. Sel-sel dalam tubuhku berusaha menyusun kepingan-kepingan kata yang tersebar acak di dalam otak.
Tetapi nihil. Kata-kata yang berusaha disusun malah semakin berpencar dan mengacak.
Apa maksud dari surat itu?
Aku tidak mengerti. Hubungan kami jelas baik-baik saja. Namun mengapa Andra berusaha menghindariku?
Aku mengambil
handphone yang terletak di bawah bantal, mengetikkan nomornya untuk menghubunginya. Sembari menunggu ia menjawab, susah payah kukumpulkan energi yang tersisa untuk memperjelas suaraku, tetapi sia-sia saja. Suaraku semakin parau ketika ia mengangkat telfonku.
...