Thursday, July 18, 2019

Nihil

Jika aku menjelma
cinta kubayangkan semilir angin yang membelai
pipimu ketika jendela kamarmu
terbuka sorai kicauan burung yang mengusik
pagimu menghangat seperti dekapan kemul yang tak mau
lepas pijakan kedua kakimu pada lantai beku itu.

Jika aku menjelma
sayang kupastikan siang menjadi temanmu yang rela
jauhkan terik agar kulitmu tidak memerah
panas menjadikan peluh jatuh menjamah keningmu
mesra kukirimkan milyaran sejuk yang siap
kusuruh memetik bulir-bulirnya.

Jika renjana ini menggebu seperti tabuh pada
pukul satu pagi yang sunyi terdengar
melodi sendu menyayat hati siapapun
mendengar isak dari hasrat tak kunjung
sahih benar pertemuan yang diidamkan.

Namun aku hanya dapat menjelma
aku yang tak lain bukan kumpulan
sajak pada setiap potongan fiksimu dalam
senja yang tengah bercerita dan kami
berdua merayakan hampa terhadap kasihmu
jika benar kita saling merindu.

Share:

Friday, July 12, 2019

Usai

"Halo?"
"Ya.. Ini siapa?"
"Juna.. Kamu lupa, Na?"

Sejenak.. Suaraku tercekat. Aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Ini terlalu tiba-tiba dan aku tidak memiliki persiapan apapun.

"Halo, Tsana? Kamu dengar suaraku?"
"Oh iya.. Ada apa, Jun?"
"Ketemu yuk.. Aku rindu, boleh?"

Ya.. Lelaki itu Juna. Sahabatku yang menghilang beberapa waktu lalu tiba-tiba kembali mengundang tanya. Suaranya yang beberapa tahun terakhir telah menjadi obat penenang di kala hatiku kacau, kini malah membuyarkan kewarasanku.

"Kenapa tiba-tiba datang, Jun?"

"Maaf telah membuatmu bingung. Aku butuh waktu untuk sendiri. Aku kira semuanya terlalu tiba-tiba. Perasaanku, perasaanmu, pertemanan kita yang perlahan berubah saling mencinta. Aku kira, semuanya salah."

"Ya, Jun. Semuanya salah. Kini kamu yang tengah menghubungiku juga suatu yang salah. Tidak seharusnya kamu melakukan ini. Semuanya telah berbeda. Dahulu kita memutuskan untuk meruntuhkan paksa batasan kita. Kini, setelah semuanya terasa jelas, ketika kamu tetiba menghilang batasan itu juga perlahan menghilang. Pertemanan kita tidak lagi berada dalam dinding kokoh yang pernah kita bangun tinggi-tinggi. Sekarang kita hanyalah dua asing yang saling mengenang. Kisah kita telah usai saat kamu memilih untuk berhenti."

"Tapi, Na..."

"Sudah ya, Jun. Aku putuskan sambungan teleponmu."

Share:

Wednesday, June 19, 2019

Lara dalam Kenang

Pada suatu malam yang gelap
Berkali kupejamkan mata
Dalam senandung rintik hujan
Yang tidak menenangkan
Degub jantung terus memburu
Teringat tentang malam-malam lalu
Di mana ku menunggu jawaban
Atas pertanyaan-pertanyaan
Tentang jarak yang mampu melerai
Asaku untuk bertahan sampai
Teriaknya lirih dan perih
Ia tak sekuat yang kupikirkan
Hingga jatuh bulir-bulir kesenduan
Membuat kubangan luka yang tak kunjung lenyap.

Share:

Saturday, June 15, 2019

Ingin yang Tak Sampai

Ada yang ingin pulang
Namun lupa tujuan
Dan yang menunggu dipenuhi tanya

Ada yang pergi menghilang
Tanpa memberi persiapan
Dan yang tersiksa diam tak berbahasa

Dunianya perlahan meredup
Asa tak lagi dibiarkan hidup

Wajah di balik bantal tenggelam
Tangisnya meluruh tanpa diminta
Perkara sebuah rindu yang kelam
Sebab senantiasa disuguhi lara

-zulfasabila

Share:

Tuesday, May 28, 2019

Sama-sama Berusaha

"Aku takut."

"Kenapa?"

"Aku rasa ada yang salah dalam diriku. Kepalaku penuh dengan banyak hal dan aku takut. Aku takut mereka semakin liar di dalam sana dan berontak ketika aku tak dapat memuaskan apa yang mereka butuhkan. Rasanya menggigil walau cuaca sedang panas-panasnya. Mereka seperti menggentayangi tiap malam, memaksaku untuk tetap membuka mata. Di dalam dadaku, mereka seperti sengaja menaruh drum dan menabuhnya keras-keras. Dan, rasanya..."

"Rasanya seperti tidak ada yang mampu membantumu kan?"

"Ya.. Bagaimana kau tahu?"

"Mari duduk di sebelahku. Hari ini, sepenuhnya diriku untukmu. Kamu boleh menggunakan bahu ini untuk menangis. Aku akan membiarkan telingaku pengang akibat teriakan yang sudah lama kau tahan. Singkatnya, aku ada dan kamu butuh aku."

Telapak tangannya yang basah membelai punggung tanganku perlahan.
Hangat dan menenangkan.
Sembari ia meneruskan pembicaraannya.

"Mari kita sama-sama rehat. Gak harus kok kamu memuaskan setiap keinginan semua hal yang menuntutmu. Gak harus kok kamu menjaga semua hal, biar kamu gak capek juga."

"Kadang aku merasa, ketika aku sibuk menjaga semua hal. Siapa yang akan menjagaku?"

"Tuhan akan senantiasa menjagamu. Lewat orang-orang yang mencintai dan mengasihimu. Salah satunya aku. Aku akan berusaha untuk menjagamu."

"Kalau aku terlalu bergantung kepadamu dan suatu saat kamu pergi, tidakkah kau pikir aku jadi lebih rapuh?"

"Tuhan telah mempercayakanku yang kuat untuk membuatmu tetap aman. InshaAllah. Jadi, kamu tidak perlu lagi merasa sendirian. Aku akan berusaha untuk memegang amanah Tuhan, dan kamu juga berusaha untuk senantiasa berbagi dan tidak lagi memendamnya sendirian."

Share:

Thursday, May 23, 2019

Februari yang Melarikan Diri

Sejenak kuperhatikan tanggal yang tertera
Di tempat kau yang beraromakan lara
Jejakmu masih saja tersisa
Tak habis walau kuhirup paksa
Hingga nostalgiaku tak pernah usai

Aku menatap cermin yang telah hampa
Sebab kau ajak bayanganmu serta
Menghilang dari seisi dunia
Akupun kehilangan seluruh cinta
Sedang jiwaku mulai kehilangan arah

Ku coba lari mengejar bayang
Melewati semua halang rintang
Namun, mentari tak kunjung datang
Seolah tau kau juga akan hilang

Pesan yang tak kunjung diutarakan
Perlahan sirna tanpa tersampaikan
Menggiring pelan rasa penyesalan
Membuat punya hilang tak bertuan

Sejak itu bulan seperti kehilangan bagian
Tak lagi genap dua belas jika dijumlahkan
Sedang aku berlari tanpa miliki tujuan
Menanti luka abadi hilang dari ingatan

ZS  x  SF

Share:

Sunday, May 19, 2019

Perihal Namamu, Joko

Anggap saja kamu telah lama bertanya-tanya dalam hati, perihal sebutanmu yang kupanggil Joko, namun terlalu tinggi kau pasang tarif harga dirimu sehingga memendam itu menjadi sebuah bunga tidur, yang ketika keesokan hari tiba tak lagi kau ingat.

Namun, malam ini, sebelum bunga tidur itu menyeruak, aku akan dengan senang hati bercerita.

Namamu, Joko. Kuambil dari seorang penyair yang memiliki gaya unik dalam menorehkan tintanya dalam secarik tulisan. Joko Pinurbo. Sama seperti sifatmu yang nyentrik bin aneh. Memiliki warna berbeda, tak biasa, namun kusuka. Selebihnya tentang beliau, bisa kau cari dalam berbagai laman daring yang banyak disediakan.

Selain itu ya memang karena kekesalanku terhadapmu. Dulu.

Share:

Thursday, May 9, 2019

Cerita Ibu Sebelum Tidur

Matahari telah tenggelam berganti dengan bulan. Lembayung senja telah didominasi oleh ungu kebiruan yang gelap. Ibu membiasakan kami untuk menyimak sebuah cerita sebelum tidur. Biasanya ibu akan membawakan dongeng bertajuk fantasi. Namun, pada malam ini berbeda. Ibu bilang, ibu akan menceritakan sepotong kisah yang dialaminya. Kami tentunya sangat tertarik, ini merupakan kesempatan emas sebab jarang untuk ibu bercerita tentang masa mudanya.

"Sebelum ibu bercerita, mari berbaring dengan nyaman." Suara lembutnya menjadi pengantar kisah malam ini.

Pada tahun 1998, ama, ibu, dan kedua adiknya tinggal di sebuah kota yang tergolong elite pada masa itu. Keluarganya bertahan hidup tanpa kehadiran seorang lelaki perkasa, maka dari itu setiap wanita di dalamnya saling melindungi. Ama, nenekku, bekerja sebagai seorang pengusaha mebel yang telah memiliki 5 ruko tersebar berdekatan. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai ketika kerusuhan itu dimulai.

"Ibu ingat betul bagaimana Lala menangis pulang dari sekolah seperti orang ketakutan. Mei menjelaskan bahwa mereka tiba-tiba didekati oleh sekumpulan lelaki dengan mata menyala marah."

"Mereka mau apa, bu?"

"Para lelaki tersebut mengusik mereka. Untungnya ada beberapa pemuda yang datang menghentikan perbuatannya. Sehari setelah itu keadaan semakin parah. Ama diberitahu oleh seluruh keluarga untuk bersembunyi sejauh mungkin sampai keadaan cukup aman."

"Lalu bu?"

"Kita lanjut ceritanya kapan-kapan, ya? Sudah malam ayo segera tidur."

"Yaah ibu.."

Aku rasa malam ini akan menjadi malam yang cukup panjang bagiku dan adikku, kontras dengan cerita ibu yang terlalu singkat. Entah esok atau lusa ibu akan menceritakan kelanjutan dari kisahnya, namun yang ku yakini bahwa ibu percaya kepada kami untuk berbagi perihal kisah masa lalunya

yang menurutku
mampu dijadikan sebuah mimpi buruk.
Share:

Friday, March 29, 2019

Derma

Pertama. Kuketuk layar ponsel cerdasku tiga kali. Bahkan genap sebenarnya sudah cukup untukku, namun ganjil ingatkanku perihal kau yang meminta hatimu diisi lebih.

Kedua. Yang baru kuketahui belakangan ini adalah mayamu yang nampang mengisi ruang kosongku sehari-hari. Sedangkan ragamu terisi penuh pada harinya yang baru.

Ketiga. Yang mana yang harus kupahami terlebih dahulu, nalurimu atau nafsumu belaka?

Keempat. Telak, aku menyerah. Yang tenggelam dan hanyut tidak dapat lagi diselamatkan. Hanya satu yang menyisa, sebongkah kalimat pada pecahan hatiku yang tak lagi dapat disatukan.

Berikan derma untuknya. Wahai, semoga ia senantiasa gelisah, digerayangi karma yang meminta untuk ditemukan.

Share:

Thursday, March 7, 2019

Sosok Lain yang Menghuni Duniaku

I guess I just feel likeGood things are gone. And the weight of my worries. Is too much to take on - John Mayer


Alunan musik John Mayer memenuhi seluruh pendengaranku. Pelantang telinga yang tergantung erat serta volume yang dipasang maksimal adalah temanku di kala senggang. Bukan. Kesepian lebih tepatnya. Dua kali sudah terputar lagu yang sama dan kini sebait lirik telah mengunci perhatianku.

Sisiku yang waras berteriak dalam bekapan yang lain, menyuarakan tentang kegelisahan atas kontrol yang direnggut paksa oleh mereka.

"Bodoh. Ganti lagunya, cepat! Atau kau akan kehilangan kewarasanmu." dalam otakku ia berbicara.

Nasi telah menjadi bubur. Terlambat sudah ia memperingatiku. Aku mulai menunjukkan reaksi berlebihan. Hormon serotoninku tetiba menghilang, menguap, terbang. Semua kata kerja itu menyatakan bahwa mereka tidak lagi sanggup menghadapi ketidakwarasanku.

Panik. Gelisah. Jika kau berada di depanku, mungkin dengan jelas akan terlihat bagaimana aku bersikap sekarang.


"Hai." seseorang menepuk pundakku cukup keras. Aku berjengit. Dadaku meletup-letup.

"Siapa?" tanyaku tak acuh, aku tidak mengenalnya.

"Kenapa? Kok kelihatannya kamu tidak nyaman?" aku diam.

"Kalau aku terlihat tidak nyaman, ibuku selalu memutarkan lagu ini." ia mencopot paksa pelantang telinga milikku dan mengganti dengan miliknya.

"Apa sih yang kau dengarkan?

Oh... Pantas. Sini, biar kumasukkan playlistku. Sebagai gantinya aku akan memasukkan playlist milikmu, agar aku bisa mengertimu, jadi kau tidak perlu berbicara." ia berbicara sendirian.

"Kau siapa?" tanyaku.

"Dean. Salam kenal, namaku Dean Samudra. Kau?" ia lalu mengulurkan tangannya.

"Ira." canggung dan hanya menatap tangannya yang mengulur.

"Ayo, temenan!" ia menarik tanganku paksa dan menggerak-gerakan seperti sedang berjabat tangan.

"Hah?!"

"Ohiya, tolong masukkan nomorku ke dalam kontak. Aku tak sabar ingin berbagi playlist lainnya milikku."
Share:

Wednesday, March 6, 2019

Planet Tempatku Sembunyi

Joko, apa kabar?
Di kehidupan nyata, adikara dalam tubuhku menolak untuk merengkuh jiwamu, sebaliknya juga.
Namun, kepalang tanggung sudah menerka-nerkanya sendiri.
Jadi, kuputuskan untuk tetap melindungi sang adikara dan menanyakan kabarmu pada kiriman dalam laman tempatku bercerita.

Aku masih sama seperti gadismu dua tahun silam. Masih menjadi seorang pendendam yang lemah. Ya, aku benci untuk menangis. Aku sering melakukannya. Tubuhku masih sering gemetar, menandakan bahwa sinyal kepanikanku mulai merengkuh tubuhku secara paksa.

Aku butuh kamu, pelarianku.

Entah mengapa, sarkasme yang kau lontarkan tiap kali aku memutuskan untuk berbagi mengadu kepadamu telah menjadi candu yang selalu kucari-cari sebagai pembenaran bahwa mengeluh adalah hal yang salah.
Namun, tak lagi kutemukan kalimat-kalimat itu dalam tubuh seorang yang bukan dirimu.

Sekali lagi aku katakan, bahwa aku memintamu datang.
Datanglah sekali-kali untuk pura-pura mengkhawatirkanku.
Datanglah untuk pura-pura membutuhkan rumah.
Aku rumahmu.
Bukankah itu benar?
Tolong pulang.
Aku sudah terlalu lama tersesat.

Saat menulis, aku sedang mendengarkan lagu Arsy Widianto - Planet Tempatku Sembunyi.
Jadi, kubuat judulnya sama saja ya, sesekali memenangkan adikaramu.
Share:

Sunday, February 3, 2019

Tepat

Aku percaya bahwa Tuhan tak pernah main-main ketika ia menuliskan jalan cerita untukku. Ketika banyak kekecewaan yang Ia hadirkan sebab kenyataan tak sesuai harapku melalui tokoh-tokoh yang pernah singgah. Salah satunya ialah kamu. Aku belajar banyak dari kedekatan kita, kala itu.

Seringkali aku berpikir, untuk menyalahkan kamu atau mereka yang nampaknya dengan sengaja melukaiku. Ketika aku ingin berjalan bersama sesuai dengan tujuanku, merajut sebuah masa depan di mana ada kata kita pada akhir ceritanya. Namun, aku lupa bahwa bukan hanya aku seorang yang sedang menjadi tokoh utama.

Kamu pun adalah tokoh utama dalam jalan cerita milikmu. Mungkin yang sedang dalam proses mencari dan memilah mana wanita yang pantas untuk menemani sisa kehidupanmu dan aku adalah salah satu kandidatnya, namun bukan berarti aku yang menjadi pilihanmu, kelak.

Aku juga sempat menyalahkan waktu milikNya. Saat aku yang tak siap untuk melangkah namun kau datang menawarkan kesempatan itu. Sampai pada akhirnya, aku berada diambang keputusasaan, menjadi manusia egois yang tak mau melepas keduanya. Aku yang hanya mau dituruti segala keinginannya dan tak sadar telah membuatmu terluka. Menyesal. Mengapa memilih aku sebagai tokoh untuk melengkapi jalan cerita milikmu.

Aku belajar banyak dari kedekatan kita. Tentang arti bersabar, melepaskan, mengikhlaskan, memaksakan sampai menyakiti diri. Aku yang kala itu masih terlalu muda dan miskin pengalaman, menyelesaikan sebuah masalah dengan cara kekanak-kanakan. Hingga merugikan diri sendiri. Beranggapan bahwa duniaku akan berakhir jika pada akhirnya aku tak bersamamu.

Tapi karenamu aku terpaksa harus belajar. Bahwa tak ada satupun di dunia ini, yang dimunculkan untuk terus menetap. Aku yakin, akan ada tokoh-tokoh sepertimu menanti di persimpangan jalan lainnya, sibuk menungguku untuk menawarkan kesempatan itu. Mungkin juga, suatu hari nanti akan ada kamu lagi entah di jalan yang mana. Kamu yang telah memutuskan untuk memilihku sebagai penutup jalan ceritamu.

Pada saat itu, aku yakin bahwa itu waktu yang tepat.
Share:

Saturday, January 5, 2019

Entri Pada Sebuah Jurnal Tentang Kehilangan - TAMAT

Bandung, 15 Juni 2015.

Ga ada kesalahan yang kamu buat, saya yang mulai. Apa yang terjadi semua karena saya penyebabnya. Saya terlalu egois dengan diri saya sendiri dan karena itu, kamu jadi korbannya.

Kamu akan memandang saya sebagai orang yang penuh omong kosong, ya itu konsekuensi yang akan saya terima. Saya doakan yang terbaik untuk kamu. Maafkan saya menghilang begitu saja tanpa ada kabar. Saya sadar betapa bodoh dan egoisnya saya.

Semoga Allah kasih pelajaran yang sebanding atau melebihi dengan apa yang kamu rasakan karena saya. Maafkan juga, karena saya hanya berani mengutarakannya lewat surat ini. Sebelumnya saya sangat takut karena saya sadar betapa egoisnya tindakan saya, tapi saya tidak pernah bisa melarikan diri dari kesalahan saya ke kamu.

Terima kasih atas maafnya. Jangan balas surat ini.

Andra

Surat kedua dari Andra datang lagi, setelah tiga tahun berlalu. Semua perasaan terpendam yang tak aku keluarkan selama tiga tahun, bertubi-tubi menyerangku tanpa ampun, lebih ganas, dan mematikan.

Tiga tahun setelah surat yang berisi permohonan untuk jangan menunggu akhirnya berujung mengenaskan. Aku kira, ujungnya akan berbeda. Aku kira, kita akan bersama.

Semua terasa begitu masuk akal. Aku membencimu teramat dalam. Namun, hati kecilku masih punya sisi dermawannya. Melihatmu yang menghilang tanpa jejak, begitu saja. Dihantui oleh rasa bersalah kepadaku, kamu juga terluka. Kamu mengambil keputusan ini atas dasar bahwa tidak ada lagi yang boleh terluka. Lebih tepatnya, biarkan kita sama-sama merelakan luka itu tersiram sebotol cuka, tak akan pernah mengering. Agar kita sama-sama merasakan kesakitan itu.

Tak akan pernah lupa.
Tak akan pernah berpura-pura tidak ada hal buruk yang menimpa kita.

Namun, kamu tahu, Andra? Aku trauma.
Sampai detik ini, kalau kau mau tahu.

Share: