Thursday, December 27, 2018

Pada Cermin dan Pantulnya

Tahun ini, sudah berapa kali dipatahkan?

Aku bertanya pada pantulan cermin.

Kira-kira, sudah tak terhitung jumlahnya.

Aku masih ingat siapa saja manusia-manusia yang tak manusiawi itu. Bagaimana mereka lalu abai ketika telah berhasil menyentuh titik terapuh dalam diriku.

Hatiku yang terlalu sering terkoyak, masih berusaha untuk disembuhkan.

Bahkan aku sudah memikirkan strategi pembalasan dendam paling ampuh. Aku sudah membayangkan bagaimana tawa itu pecah ketika panah itu tepat menembus sempurna.

Namun, aku terlalu takut, pada karma yang akan mengoyak hatiku lebih kejam lagi.

Lagi-lagi aku hanya bisa meringkuk di sudut ruang, seakan terpojokkan. Mundur perlahan dengan muka tertunduk.

Biarlah.
Biarlah ini menjadi rasa sakitku saja.
Mungkin ada baiknya untukku.
Suatu hari nanti.

Share:

Wednesday, December 26, 2018

Kawa, Mungkin Takdir Tak Pernah Melihat Kita

Kawa, izinkan kukoreksi perihal hitunganmu tentang berapa lama sua tidak terlaksana. Bukan dalam lima purnama, itu terlalu sedikit. Sekiranya seperempat windu. Jangan jumlah temu dalam bunga tidurmu, itu tidak masuk dalam hitungan.

Ya, Kawa. Mengerti betul aku tentang bayang yang tak dapat lagi kamu ingat. Biar kupaparkan hal yang harus kau ketahui, bahwa tak lagi ada yang sama dalam diriku dahulu. Rambutku tak lagi pendek, kubiarkan memanjang agar dapat menamparku saat lupa, bahwa jarak kita sudah sedemikian membentang luas. Menangis bukan lagi makanan sehari-hariku, sebab muak sudah kutelan berikut dengan seluruh rindu dan perih yang kau tinggalkan.

Lantas, mengapa masih kau tulis tentangku? Mengapa masih ada aku dalam hidupmu sedang kau meronta minta dilepaskan. Jangan pernah bandingkan aku dengan para gadis molek yang merayumu, itu. Kau minta seorang yang mau mendengar isakmu pukul tiga pagi? Biar kuingatkan bahwa dulu kau pergi sebab aku tahan menghadapi seluruh kelammu.

Jangan. Tak perlu lagi kau jabarkan seluruh kesakitan, mimpi burukmu hanya untuk mengemis sebuah iba. Aku tak lagi sudi masuk ketika pemiliknya dahulu pernah mengusirku dengan sebegitu kasarnya sampai terseok-seok aku mencari jalan keluar dari buanamu.

Jika Tuhan tak segera membunuhmu, maka jadikanlah iba Tuhan terhadap nyawamu sebagai anugerah yang harusnya kau syukuri! Lekas tinggalkan album tentangku dan berhentilah menggerayangi bolpoin jika sajakmu masih tentang aku.

Kawa, mungkin takdir tak pernah melihat kita. Berhentilah Kawa. Semoga kau lekas sembuh. Seorang pesakitan sepertimu butuh obat, jangan hanya sibuk do'akanku senantiasa bahagia, berkacalah sebab kau sendiri butuh welas asih ragamu.

Share:

Friday, November 9, 2018

Jawaban dari Tekanan

Ibu tidak berjanji ombaknya akan kecil, karangnya tidak besar, dan perompak tidak menghadang. Lawan rasa takutmu, besarkan hatimu, kuatkan jiwamu, bahagiakan dirimu. Doa ibu menemani, hari ini, hingga nanti. -@nkcthi

Sekarang aku mengerti, apa maksud dari kata ibuku,

"Kamu kebanyakan ngeluh. Kamu sakit ya karena dibuat-buat. Coba sayang sama diri sendiri. Pasti gak akan ada beban di pundakmu."

Hari ini, aku lagi-lagi dibuat pusing oleh prasangka-prasangka buruk hatiku. Seharian aku sibuk mengeluh lemas, panas, sakit kepala, rasa ingin menangis, rasa ingin berteriak, ingin bercerita sebab kembali aku memikirkan hal-hal yang belum terjadi dan keburu takut dengan rintangan yang ada.

Bolak-balik aku menuju kamar Ibu dan naik ke kamarku. Aku ingin sekali bercerita kepada Ibu, namun aku bingung harus dimulai dari mana. Lagipula, aku takut bahwa ceritaku membuat beban baginya--hati kotorku mulai bermain.

Ketika ibu sedang menjalankan sholat isya, aku termenung bersama tv yang menampilkan sinetron azab yang tengah dibisukan, demi menjaga kekhusyukan sholat Ibu.

Aku kenapa sih? Rasanya kok gak enak banget ya hati. Perasaan magrib tadi aku sempat bermunajad kepada Allah juga mengangung-agungkanNya dengan membaca kitabNya. Namun kenapa rasanya masih mengganjal?

Aku harus cerita ke siapa lagi? Sudah berapa banyak manusia yang kudatangi untuk sekedar berbagi kegelisahanku? Mau sampai kapan aku bergantung kepada mereka?

Pergelutan antara malaikat dan setanpun masih berlangsung. Namun, khusus hari ini, Tuhan benar-benar memberikanku jawaban. Takdir menentukan kemenangan telak didapatkan malaikat.

Kamu terlalu banyak menuntut dirimu, Bila. Akui kelemahanmu sekarang. 

Aku lemah. Aku masih banyak kekurangan, namun aku menampik semua kelemahan tersebut dengan mengucilkannya. Aku mengabaikan kelemahanku dan berpura-pura aku adalah seorang yang superior. Bahwa aku dapat memenuhi setiap ekspektasi setiap teman-temanku. Ada kalanya aku harus berhenti, mengakui bahwa aku tidak mampu, dan aku membutuhkan mereka untuk membantu ketidakmampuanku. 

Seketika itu, beban yang tadi menghantamku keras, menguap begitu saja. Hatiku plong bukan main. Rasa panas dan pusing di tubuhku mulai mereda, walau belum sepenuhnya hilang.

Akhirnya aku menemukan jawabanku.

Lagi-lagi buku "Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini" benar.
Banyak hal sederhana dibuat rumit oleh pemikiran sendiri.

Love,

myself 

p.s. The only one who can heals you, its you.
Share:

Wednesday, October 10, 2018

Reka Ulang Kita: Disk 1

Mari berbalik pada peristiwa empat tahun silam.

Kamis yang teriknya begitu melekat ke kulit membuat tak seorangpun betah bermain di lapangan. Bahkan payung besar berwujud beringin di sudut lapangan tak mampu menghalau silau cahayanya.  Berbondong-bondong siswa yang menggunakan pakaian olahraga berlarian di lorong menuju kelas.  Kau dan aku adalah salah duanya.

Tiga bulan berada di ruangan yang sama setiap hari, tak jua membuat kita saling menyapa. Sebab kita berdua merasa diri kita adalah makhluk asing yang terjebak di negeri antah berantah yang takut memperkenalkan diri sebab kita menggunakan bahasa yang berbeda.

Namun pada hari itu, kau membuat suatu pergerakan yang 'amat bukan dirimu'. Kamu memulai perbincangan.

Kepada diriku.

"Panas ya.." ujarmu yang masih kuingat sampai sekarang. Harus kuakui bahwa kau benar-benar payah dalam urusan memulai percakapan. Setan apa pula yang merasuki pikiranmu untuk melakukan hal bodoh tersebut.

Aku ingat, bahwa sejak pertama kita bersama, aku tak pernah mengutarakan perasaanku tentang bagaimana aku memandangmu.

Share:

Friday, September 21, 2018

Ada Hal yang Tidak Kamu Ketahui

Malam yang larut.

Di dalam kamar yang lampunya sudah padam, ada yang sedang meringkuk di bawah selimut bukan karena dingin mengusik tubuhnya. Ia hanya tak ingin terlihat rapuh oleh apapun.

Kini ia sedang membekap mulut dengan kedua tangannya; menahan napasnya; hingga menggigiti ujung bantal sampai air liurnya menyembul keluar-- agar redam isak tangisnya yang kurang ajar.

Ia redup.
Sebab tak ada yang mau lagi mendengarkan. Mereka sibuk bergunjing bahwa ia butuh perhatian sampai dengan angkuhnya mencaci karena ceritanya terdengar seperti drama penuh omong kosong.

Matanya perlahan menutup, sebab tak mampu lagi menahan beban dari tumpukan air mata yang mulai mengering.

Dibayangannya, ia perlahan membelakangi cahaya, berjalan menuju ke sebuah kotak sesak penuh sekat.

Mengurung diri, sambil merapalkan harap; ia ingin terbangun dalam dunia yang diimpikannya.

Share:

Wednesday, September 12, 2018

Entri Pada Sebuah Jurnal Tentang Kehilangan - Satu

Bandung, Desember 2012

Kegiatan menyanyiku terhenti ketika ketukan pintu terdengar, disusul dengan suara Andin, adikku.

"Kak, ada surat dari Abang. Tadi Abang kesini tapi cuma nitipin surat ke Andin. Pas Andin tanya mau dipanggilin kakak atau enggak, dia malah pamit pulang."

Aku mendengar jelas apa yang dikatakannya, tetapi memilih untuk pura-pura tidak peduli. Hanya ada suara pancuran air menandakan aku sedang mandi.

Andin pasti heran dengan sikap kakaknya yang tiba-tiba acuh, karena biasanya aku bersikap berlebihan ketika seseorang menyebut namanya, Andra, yang dipanggil Abang oleh Andin.

"Aku taruh di meja, ya."

Terdengar suara pintu tertutup, menandakan Andin telah hengkang dari kamarku. Dengan tergesa-gesa aku keluar dari kamar mandi. Sebuah amplop berwarna kuning dengan prangko bergambar bunga matahari di sudut kanan, berada di atas meja belajar, yang kuyakini adalah surat dari Andra.

Ragu-ragu aku mengambil amplop tersebut dan membukanya. Dengan cepat aku membaca isi suratnya, secepat itu pula air mata berlomba keluar dari mataku.



Bandung, 26 Desember 2012
Selamat Malam.Berhenti bukan berarti menyerah,Berlari bukan berarti ingin sembunyi,Pergi bukan berari meninggalkan.
Selama ucapan selamat tinggal belum keluar dari mulutku, bukan berarti yang kulakukan nanti adalah bermaksud untuk menghapus kamu dari kehidupanku.
Lama ataupun sebentarnya suatu kisah, bukan menjadi suatu pengukur berhasil atau tidaknya suatu hubungan.
Ingat,Jangan cari aku, sudah tugasku nanti untuk mengejarmu. Apalagi mengejarku, nanti kamu terjatuh. Aku tak punya waktu untuk menunggu luka itu sembuh.Berhentilah menunggu, nanti kamu lengah dan bosan.
Satu hal yang terpenting, bermimpilah selagi kamu masih bisa bermimpi.
Andra,di tempat yang kamu ketahui.


Air mata masih mengalir melewati pipi hingga membasahi surat tersebut, membuat lingkaran besar di tengah-tengah kertas. Pikiranku masih berantakan. Sel-sel dalam tubuhku berusaha menyusun kepingan-kepingan kata yang tersebar acak di dalam otak.

Tetapi nihil. Kata-kata yang berusaha disusun malah semakin berpencar dan mengacak.

Apa maksud dari surat itu?

Aku tidak mengerti. Hubungan kami jelas baik-baik saja. Namun mengapa Andra berusaha menghindariku?

Aku mengambil handphone yang terletak di bawah bantal, mengetikkan nomornya untuk menghubunginya. Sembari menunggu ia menjawab, susah payah kukumpulkan energi yang tersisa untuk memperjelas suaraku, tetapi sia-sia saja. Suaraku semakin parau ketika ia mengangkat telfonku.
...
Share:

Percakapan di Tengah Malam

"Coba lihat keluar, bintangnya terang banget."
Waktu itu kamu bilang kepadaku untuk melihat ke luar jendela.
"Gelap. Gak ada apa-apa."
Aku jujur pada waktu itu. Nyatanya aku tidak melihat apapun.
"Coba perhatiin baik-baik deh."
Kamu terus memaksaku hingga aku menyanggupi kemauanmu. Aku menelisik ke dalam gelapnya malam, meraba ada apa dibaliknya, mengekori setiap jengkal hamparan langit yang dingin. Hingga mataku berhenti pada suatu titik yang bersinar. Sebuah bintang hadir, besar dan amat terang, memenangi gelap yang pada saat itu mendominasi.
"Aku lihat! Bintang yang cuma sendirian itu kan?"
"Tepat. Bintang yang istimewa bagiku.
Aku sudah buat permohonan. Cepat buat satu untukku sebelum bintangnya menghilang."
Kamu berbicara lagi di seberang sana. Aku bisa merasakan di setiap penggalan kata yang kamu rapalkan, begitu mengidamkan.

Aku penasaran dengan apa yang kamu harapkan. Tetapi cukup tahu diri untuk tidak menanyakannya kepadamu.
"Ah ngapain... Itukan cuma bintang."
Aku berbohong. Malam itu aku merapalkan satu permohonan, agar hatimu selalu untukku seorang.

Hening.......

Setelah itu, hanya terdengar suara dengkuran halusmu sebagai penutup malam kita.



-di tulis pada pertengahan tahun 2016


Namun pada akhirnya takdir berkehendak lain. Aku kalah sebab Tuhan nampaknya tak menginginkan cinta itu menetap.

Mau tau cerita akhirnya?

Sebulan setelah permohonan itu, kamu menghilang. Mungkin karena kamu telah menemukan bintang lain yang bisa memberikan lebih dari satu permohonan untukmu. Sebab do'aku kalah kuat dibanding do'a perempuan lain yang juga ingin memiliki hatimu.
Share:

Monday, September 3, 2018

Kalah

Sudah kutelanjangi pikiranku yang rumit.
Sengaja kubuat sesederhana mungkin, agar
hatimu pasti. Bahwa memahamiku adalah hal
yang tak sulit.

Kubiarkan kau menelisik kalbuku sedalam-
dalamnya. Melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa perasaan itu memang nyata adanya.

Terlalu keras ku berusaha memberikan
kemudahan dalam sebuah keseriusan. Namun,
ku tetap kalah. Sejak awal kau tak pernah berniat
mempersilakanku menetap singgah.

Dengan tatapan sendumu yang penuh rayuan,
kau biarkan ku buta dengan menampik
semua kenyataan yang ada.

Share:

Sunday, September 2, 2018

Intermeso - Mengapa Aku Menulis?

Ini adalah suatu kebiasaan sejak kecil. Seperti anak-anak kecil perempuan pada umumnya, kami gemar menulis pada buku harian. Begitu pula dengan diriku, hingga hal tersebut terbawa sampai aku menjadi mahasiswa, dengan jurusan yang amat dekat dengan dunia sastra dan kepenulisan.

Aku menulis sebab tak semua manusia mau dan mampu memahami apa yang aku rasa. Aku menulis untuk meluapkan emosi kesedihan yang berlebihan, dan amarah yang pada akhirnya berubah menjadi tangis.

Tidak dapat dipungkiri, hampir seluruh objek dari semua karya berpusat pada para makhluk adam. Aku sangat bersyukur bisa mengenal mereka. Merasakan jatuh cinta, patah hati, kecewa, belajar hal baru dari setiap individu berbeda yang aku temukan pada setiap masanya.

Singkatnya karena itu. Kalau mau kujabarkan, bisa saja. Namun aku tak ingin semua orang mengetahui alasannya.

Share:

Draft 1.3

Untuk Tuan besar kepala
Yang berpikir seribu kali tiap mau menyapa.

Malam ini dingin masih menetap,
Sebab nestapa tak kunjung lesap.

Tiga lembar kemul yang membungkus,
Jauh dari kata mangkus.

Oleh karenanya.....

Aku butuh kamu,
Segeralah datangkan temu.

Jangan buatku menunggu,
Sebab lelah jika harus menggerutu.

Sekian, dan terima pelukan secepatnya.

-pada malam hari ketika rindu sedang membuncah dengan amat kasar, namun tak jua kudapati pesan.

Share:

Sunday, August 12, 2018

Draft❤

Untukmu yang tidak bisa lagi kusebut namanya, sebab diri ini masih belum tahu kemana hati akan berlabuh nantinya.

Aku mau bercerita.

Anggap saja aku adalah seorang yang serba tahu. Bahwa aku benar-benar tahu jika kamu juga menaruh rasa yang sama kepadaku. Perasaanku terbalas. Namun dengan caramu yang tidak biasa.

Malam lalu, aku merenunginya. Perihal jarak yang kau buat membentang luas padahal ada banyak kesempatan dimana temu bisa tercipta. Amat banyak. Tetapi kamu memilih untuk mengabaikannya.

Kamu ingin menjagaku. Tepatnya kamu ingin menjagaNya yang telah memberikan perasaan suka itu kepadamu, dengan bermaksud tidak ingin merusak ketentuanNya kelak. Sebab kamu maupun aku belum tahu, apakah tertulis nama kita berdua dalam buku harianNya.

Kamu memilih untuk membatasi diri, sebab kamu tak ingin aku kecewa pada akhirnya. Apabila takdir tidak memihak pada kita.

Kamu membuatku menunggu, dan baru kusadari bahwa kamupun juga sedang menunggu. Mempelajari proses bersabar untuk akhirnya dipersatukan atau dipisahkan.

Setidaknya, biarkan aku menghormati perjuanganmu.
Percayalah bahwa aku juga sedang berjuang mempertaruhkanmu.
Percayalah bahwa aku bisa bersabar sampai Tuhan menjawab harapan kita.

Ditulis, Minggu malam.

Share:

Friday, August 3, 2018

Seorang Asing yang Kutemui

Suatu hari aku menatap tepat pada iris matanya. Ada sesuatu yang tidak biasa tertangkap, campuran warna indah yang tak bisa kulukiskan. Lalu kuberitahu kawanku.

"Lihatlah seseorang dengan mata yang indah itu"

Temanku tertawa, tak ada yang spesial menurutnya. Sama seperti mata-mata pada umumnya.

Kupikir ia tidak mengerti. Mata itu sungguh berbeda. Melihatnya saja bisa membuatku merinding, takjub dan sedih sekaligus. Ada api yang perlahan mulai redup. Layaknya lilin dengan sumbu yang mau habis dan dikelilingi dengan angin sebelum hujan.

Menariknya, ada ketenangan disana, yang kurasakan saat itu seperti ia tahu bahwa hidupnya tak lebih dari seperempat purnama, namun ia tetap berjuang hidup walau angin bersamaan ingin membunuhnya, dan hujan yang tak lama lagi akan mengguyurnya padam.

Aku sadar bahwa sepasang manik mata itu sedang memandang tajam, namun ia tak benar-benar sedang melihatku.

"Kau... Mengapa menatapku?" Kataku memecah kesunyian.

"Ah maaf, ada yang bisa saya bantu? Ah... Oh tidak. Bukan. Saya tidak sedang menatapmu, hanya saja, saya sedang menikmati kegelapan ini. Maaf jika tatapan mataku membuatmu tak nyaman"

"Gelap? Bukankah ini siang hari? Lalu bagian mana yang bisa disebut gelap?"

"Permisi." Kemudian ia pergi, meninggalkan secarik kertas dan pena di atas meja itu. Kertas itu hanya berisi dua kalimat singkat.

Maafkan aku telah menyusahkan kalian. Setidaknya, biarkan aku menghabiskan sisa waktuku sendiri.


Ditulis dalam keadaan yang tidak dapat didefinisikan.

Share:

Saturday, June 23, 2018

Matahari yang Layu Seketika Merekah Kembali


Butuh waktu bertahun-tahun untuk mempertahankan keindahan sinarmu, duhai kekasih. Salah sedikit, kau merajuk kesal selangkah pergi menjauh. Meski wajahku sedang dirundung awan gelap, kau tak mau mengerti. Yang ada di otakmu hanya tentang dirimu yang mau disayang-sayang.

Aku mengerti, dulu usiamu masih belia, sedang tumbuh suburnya melewati perkembangan tahap pertama, asyik menikmati banyak mulut-mulut berkomentar tentang parasmu dan rona merah pada pipimu, katanya kau lucu, hingga kau tak mau sehelai bulupun merusak kesempurnaan itu, termasuk diriku.

Pernah suatu malam, kau merajuk, setelah beberapa hari menghilang tak tahu kemana, jelas aku mau tahu, namun kau tak mau tahu mauku. Kau lelah setelah berjibaku dengan sejuta rumus pasti yang memusingkan kepala. Waktu itupun perutmu asyik berteriak minta diisi, namun terlampau malam tak ada satu gerobak nasi goreng berteriak minta dibeli.

Kau menuntutku untuk bisa memuaskan laparmu, mana bisa? Memangnya aku makanan! Lagi-lagi kau tak mau tahu, dan aku tak paham maumu. Sungguh kesalnya diri, bak seekor angsa kehilangan setengah hatinya, tak mau makan, tidurpun tak tenang. Ujug-ujug datang belahan jiwanya, memang senyum tak dapat disembunyikan, namun seketika digores perlahan membentuk lengkungan terbalik, kau membuat otakku panas selayaknya lahar gunung Krakatau.

Aku menyerah, keheranan dengan sisi lain dirimu, bagaimana bisa pintar sekali otakmu namun bodoh sekali dirimu. Aku ikut-ikutan merajuk.

Ku kira kau bakal meluluh, bak merpati yang jinak mendengar auman singa betina. Tetapi aku salah, kau semakin tak karuan memporak-porandakan hatiku, lalu merangsek tertatih menuju pintu tak dikunci itu.

Kamu pergi, meninggalkan amarah dan luka dalam.

Aku hidup melewati 36 bulan umpama mati enggan hidup tak mau. Kering kerontang tubuh ini dibuatmu, tak stabil emosiku, sebentar kemarau lalu badai datang mengguyur dedaunan.
Dengan seenak jidatmu yang tak lebar itu, kau datang kembali membawa maaf serta pengertian untukku. Heh seenakmu saja! Kau pikir aku sudi membawamu masuk kembali. Kuncinya sudah kureparasi dan pintunya sudah diganti. Kunci milikmu tak lagi berlaku.

Tapi tunggu dulu, mungkin saja masih ada jalan bagimu, ku beritahu sedikit rahasia, terdapat 4 sisi ventilasi yang muat untuk tubuh gempalmu, selanjutnya tinggal bagaimana usahamu untuk menemukannya.



Ditulis tanggal 23 Juni, Tengah Malam.
Share:

Saturday, June 16, 2018

Saturday, June 2, 2018

Semua dengan Caramu


Kutuliskan pesan kekecewaan terhadapmu yang datang sesuka hati dengan membawa kesakitan untuk kunikmati dalam sunyinya malam. Ini memang bukan tulisan sumpah serapah untuk seorang yang memang telah menjadi brengsek. Namun tulisan ini untuk menjawab seluruh diksimu yang masih tentang aku.

Hari itu kamu memintaku untuk bertemu. Setelah lebih dari 365 hari tak ada kesepakatan untuk bersua. Apakah kamu mulai merindukanku?

Berangkatlah sepasang kaki menuju jalan yang tak asing lagi. Rasanya aneh menginjakkan kaki untuk bertemu objek yang sangat ingin kurengkuh sebab rindu telah lama menahan diri.

Mengapa? Tanyaku kepada sosok yang tengah menenggelamkan kepalanya pada kursi taman tempat kita dulu memadu kasih. Kamu membatu. Jelas tertangkap inderaku pada otot-ototmu yang seketika menegang sebab kamu tak menyangka aku memenuhi permintaanmu.

Mengapa? Tanyaku untuk yang kedua kalinya, memastikan bahwa kamu tak menjawab yang pertama sebab tak mendengarnya. Namun tak juga kudapati suaramu menghentikan kecanggungan ini.

Kamu meminta untuk bertemu, hanya ingin sukma ini menatap saja? Bukankah kamu rindu kepadamu? Ayo katakan, aku ingin mendengar suaramu, sangat ingin. Tak mau? Aku pulang saja ya.

Ternyata suaraku masih dikenali. Dulu sekali, kamu bilang bahwa hatimu tak tahan mendengarku yang mulai merajuk. Kepalamu mulai mengadah, kudapati netramu yang merah, kamu baik-baik saja?

Aku ingin kita berhenti mencoba. Bukan, tetapi kamu. Aku ingin kamu untuk berhenti mencoba. Jalinan ini tak akan pernah berhasil, sebab aku tak ingin lagi menggenggam tanganmu. Perasaanku tak lagi sama denganmu. Aku mengatakannya sebab ku tak ingin kamu terlalu lama menungguiku dan air mata terus membasahi pipi meronamu.

Hanya seperkian detik untukku menikmati suaramu sebab kamu kembali terdiam dan menatap kerikil di bawah kakimu.

Kamu benar-benar mewujudkannya. Mewujudkan perkataanku di taman waktu itu, tentang aku yang lebih baik ditinggalkan ketika orang yang terkasihi itu berbuat hal yang bisa dikatakan brengsek. Kamu putuskan untuk menjadi seperti itu dan aku tak mengetahui alasannya. Sebab tak ada tanyaku yang kamu jawab.

Hari ini lagi-lagi aku melihat tulisanmu. Memang benar aku membencimu sangat dalam. Tapi kamu salah tentang satu hal, kamu salah tentang mata ini. Ku katakan sekali lagi kamu salah bila menganggap mata ini tak lagi rela menitikkan air mata dan membasahi pipiku. Nyatanya selepas kepergianmu hingga 365 hari berikutnya, air mataku masih setia mengenang tentang dirimu.

Kamu selalu menyimpulkan segala sesuatu sendiri tanpa pernah bertanya atau memberitahuku. Kamu sibuk meyakinkan dirimu bahwa aku benar-benar telah menyesal percaya kepadamu.

Kamu tak pernah berubah, semua masih sama seperti dahulu, termasuk hatimu yang masih mencintaiku sebab tulisanmu masih melulu tentang aku.

Share:

Wednesday, April 25, 2018

Harus Apa?

"Katanya kamu suka sama aku, tapi kok gak ada usahanya?" ucap kamu dengan asal.

"Selama ini yang aku lakuin itu apa?

Aku menghubungi kamu duluan, aku susah payah cari topik pembicaraan yang ujung-ujungnya cuma kamu baca, aku berusaha menghafal warna kesukaan kamu, hobi kamu, bahkan jadwal dan kesibukan kamu.

Terus kamu bilang aku gak ada usahanya?

Aku ngejar kamu, lari-lari, tapi kamu juga ikutan lari dan semakin menjauh. Aku teriak memanggilmu dengan sisa napas yang tersisa, namun kamu tak acuh.

Aku harus sadar diri. Harus tahu kapan berhenti, harus tahu berapa lama menunggu, harus peduli dengan keadaan hati aku, dan seharusnya kamu sadar diri juga, disini ada raga yang menunggu untuk dipedulikan, ada hati yang mati-matian menghalau objek lain untuk mendekat.

Aku harus memilih, berhenti atau tetap lari menggapaimu, pun begitu juga kamu, terima aku atau biarkan aku pergi."

Share:

Thursday, April 19, 2018

Beda, Bukan Prioritas

Aku menghubungimu lagi,
Menghubungimu duluan untuk kesekian kalinya
Tapi tak langsung mendapatkan jawaban
Pikirku, mungkin kau sedang sibuk.

Sehari kemudian,
Ku lihat kau disosial media
Memberikan komentar dihalaman rumah orang yang tak kukenal.
Pikirku, apa yang akan kau tuliskan di beranda percakapan kita.

Hatiku seketika membuncah,
Melihat ke halaman percakapan,
Hanya ada balasan membaca darimu
Pikirku, mungkin kau sedang sibuk.

Share:

#RemahRemehRasa02

Aku tak melepasmu pun juga tak melupakanmu.
Aku hanya sejenak, pergi meninggalkan kepingan itu,
Untuk suatu hari ku tagih kembali.

Aku tak melepasmu pun juga tak melupakanmu.
Kucuri secercah senyum juga rona merah wajahmu,
Untuk suatu hari kau ambil kembali.

Dan kita akan sama-sama bertemu,
Saling membutuhkan fragmen itu kembali.

/zlf/

Share:

#RemahRemehRasa01

Jika antonim aku adalah kamu
Maka kita sebagai penengah
Jika antonim pergi adalah pulang
Maka temu jalan keluarnya
Jika antonim cinta adalah benci
Maka kupilih rindu sebagai penyampainya.

/zlf/

Share:

Tuesday, April 17, 2018

Aku Tresno Karo Joko!

Joko, hari ini april mop, namun seminggu lagi hari lahirmu.

Kuberi tahu dulu sebelum kamu membacanya tuntas. Berhubung diksi ini dirangkai pada tanggal 1 April, jadi hampir seluruh pernyataan disini adalah suatu kebohongan, tapi aku gak akan memberitahumu yang mana, kalau mau tahu ya hubungi aku. Jadi jangan marah, Joko. Kamu gak cocok.

Jika Fatimah mencintai Ali dengan diam, maka lain hal dengan aku yang memplokamirkannya secara terang-terangan. Emansipasi katanya.

Namun, lain hal dengan surat ini yang tak akan pernah sampai kepadamu, karena aku akan menyembunyikannya. Kecuali ada orang iseng yang tahu dan mengirimkannya kepadamu.

Akan kugunakan hari ulang tahunmu sebagai kesempatanku mengungkapkan perasaanku.

Aku suka padamu, Joko. Suka sekali, sampai rasanya inderaku tak berfungsi. Pendengaranku seketika menuli, ketika banyak kawan yang bilang kamu itu sering membuat para puan jatuh cinta, lalu menelantarkannya, dan aku akan jadi salah satu dari mereka. Perabaku mati rasa, karena jarak tak pernah berbaik hati kepadaku, temu tak pernah hadir, sedang jemari selalu menantikan tangan kokok milikmu. Yang terakhir adalah penglihatanku, hanya imaji sebelum tidur yang menampilkan rupamu, ketika di dunia nyata kau tak pernah mau bertemu.

Andai saja, mereka dapat berfungsi kembali, entah berapa kali syukur kupanjatkan dalam semenitnya, entah berapa liter air yang kuhabisi karena senyum tak dapat menyembunyikan cengirnya.

Jadi, selamat ulang tahun. Semoga temu akan segera berwujud. Aamiin.

Share:

Sunday, February 11, 2018

#SelfReminder 1.2

Malam menyisakan sepi menemaniku yang masih terjaga. Pikirku, ini waktu terbaik untuk menulisi sajak untuknya, yang akhir-akhir ini menjadi candu.

Sekelibat memori berputar diatas langit malam, namun tak ada ia disana, hanya aku, wajah muram, dan sendu.

Aku tertohok, ribuan jarum menghujam jantungku, perih. Setelah selama ini, ribuan kata terukir manis pada beribu-ribu lembar kertas yang dipenuhi air mata, aku menyadari satu hal;

Ilusi mempermainkanku. Ia menciptakan begitu banyak potongan kejadian yang hanya ada aku disana, namun dengan kejamnya menambahkan sosoknya kedalam, yang telah menjadi poros hidupku selama ini.

Ketika aku mampu menyairkan kalimat indah untuknya, namun tergagu ketika objek menulisku adalah aku.

Aku yang tak pernah menyemangati diriku, namun sibuk merangkai prosa-prosa jatuh dan cinta untuk orang lain, agar ia tau apa yang kurasakan. Aku yang lengah membentengi diriku dengan paragraf-paragraf, sehingga aku terjatuh ke dalam jurang, yang mengakibatkan aku lalai kepadaNya.

Dan baru saja kusadari, bukan sosoknya, poros kehidupanku selama ini. Namun aku sendiri, diriku. Aku sang empunya hak untuk bahagia atau bersedih. Aku yang berkuasa menentukan pilihan-pilihan yang telah disiapkan olehNya.

Share:

#SelfReminder 1.1

"Puan yang sedang mencari jati diri, anggaplah kamu sebagai rakit bambu yang mengarungi danau yang luasnya tak lebih dari sepertiga samudra.

Dengan batuan menengadahkan runcingnya menyentuh tepi bawah bambumu.
Dengan perasaan merinding sekujur badan, seperti ada yang memperhatikanmu dibalik semak-semak rimbun.
Dengan arus yang kadang berontak dan seketika tenang, tak dapat kau prediksi hijaunya air.

Kamu boleh takut puan, terkadang kamu boleh menganggap remeh alur yang sedang kau telusuri, juga berhenti sejenak mendayung rakitmu untuk berpikir.

Ketahuilah puan, bahwa ringan atau berat hidupmu, mudah atau tidak jalanmu, bisikan-bisikan juga tatapan penuh dengki dan prediksi sekitarmu, percaya saja bahwa rakitmu akan membawamu ke daratan danau yang berujung.

Dan disanalah kamu akan menemukan apa yang kamu cari." Kataku seraya tersenyum memandang cermin dihadapanku.

Share:

Friday, February 2, 2018

40 Hari Kesedihan

Ku menunggui surat itu tiba. Sepucuk angpao merah yang telah kusam bertengger manis digigitan burung merpati. Bukan duit bukan pula emas. Namun, beberapa helai kertas kecokelatan dengan wangi melati yang nelangsa.

Untukmu tuan yang singgah di lubuk hatiku hingga ajal menjemput. Kutuliskan surat ini berserta dengan seluruh kesedihan dan air mata yang tak mau lagi keluar dari dua buah manik milikku.

Ingatlah bahwa pertemuan kita abadi, musik penghantar tidur ditimang alun asmara. Menangisi jasadku sudah menjadi kewajiban untuk mengenang seluruh memori indah kita, namun hanya sampai 40 hari peringatan kematianku.

Bersamaan dengan tibanya angpao ini, genap sudah 40 hari kepergianku, jangan lagi bersedih, aku tak kuat menanggung luka akibat tangisan ketidakikhlasanmu melepasku.

Share:

Thursday, February 1, 2018

Draft 2.2

Kamis terik adalah saksi atas pertemuan kita.

Ketika banyak manusia terjebak dalam kafe memilih berteduh disana, sedangkan aku dengan waktu senggang yang cukup lama memilih pohon sebagai atap.

Kamu berjalan tergesa-gesa menghindari tatapan matahari. Berlari mengumpat di bawah pohon rindang sedang peluh mengucur deras membasahi kaos abu-abu yang melekat ditubuhmu.

"Gila, neraka bocor kali ya." Kamu mengumpat namun tangan tetap lincah bergerak-gerak menciptakan angin. Aku tertawa, kelepasan.

Kamu melirik kesamping, ke arahku.
Sedangkan yang ditatap hanya mampu memandangi sepatu, malu.

"Kenapa sepatunya? Kotor?" Katamu mencoba mendinginkan suasana. "Itu dari tadi lo ngeliatin sepatu, atau lo lagi nyari duit receh jatuh?" Katamu seakan pertanyaan sebelumnya sudah terjawab

Aku menoleh, mengunci pandangan pada matamu yang dalam, lalu senyum itu segera terukir dari bibirmu, dan aku tersentak.

"Hahaha," kamu tertawa, "keliatan banget lo takut sama gue." kamu menyentuh rambutku lembut.

"Maybe today we are stranger, but the next day I hope not. See yaa when I see you."

Kejadiannya sangat cepat, setelah itu kamu berlari menghindari amukan matahari, hilang.

Share:

Draft 1.2

Untuk tuan yang apabila ditukar dengan 100 Dilan, aku tak mau.

Ini kali ketiga kamu menjadi objek aksaraku. Kali pertama ketika aku tak mau menyukaimu, kali kedua tentang kedilemaanku menunggu atau pergi, dan kali ketiga tentang kamu yang tak akan kutukar walau 100 Dilan ada digenggamanku.

Ketika Dilan akhir-akhir ini menjadi sebuah perbincangan remaja yang digelayuti monyet merah jambu, dan menjadikan Dilan sebagai kambing hitam memulainya percakapan, aku memilih untuk diam.

Mengapa tuan?

Karena kamu, kamu adalah alasan mengapa Dilan tak menjadi objek yang kugemari, juga karena Iqbal yang memerankan sosoknya, aku tak tertarik.

Tetapi karena pengarang Dilan, Pidi Baiq terhormat, aku mampu menuliskan roman picisan yang menyebalkan.

Persamaan tokoh Dilan denganmu, tuan, adalah mampu membuat hati lawan mainmu jumpalitan.

Dilan dengan sikapnya yang tak terduga, penuh kehati-hatian, namun manis.

Tuan dengan gelap dan terang yang menyayat dengan sentuhan ironi dan sinisme, namun aku suka.

Tuan, seandainya dirimu kujadikan sebuah buku, mungkin tak lebih dari setengah buku Dilan. Hanya beberapa lembar imajiku dan selusin kalimat kasar milikmu.

Dan ditutup dengan tangisan patah hati milikku, seperti yang Milea lakukan ketika kalian mengakhiri cerita tersebut.

Share:

Monday, January 22, 2018

Draft 2.1

"Um begini, aku mau bilang sesuatu." Terdengar suaranya yang serak dari balik telefon memenuhi pikiranku.

"Lusa, aku akan datang bersama ayah dan ibu...

A-ku... mau melamarmu" Katanya gugup. Sama gugupnya dengan aku, sayangnya saja ia tak bisa melihat emosi yang timbul akibat dari perkataannya.

"Bagaimana?" Ia bertanya lagi, ada pengharapan disana.

"Kalau memang serius, aku tunggu kedatanganmu lusa." Hanya itu yang dapat kukatakan. Sungguh, hatiku benar-benar tidak bisa didefinisikan. Siapa yang tidak bahagia, kekasihnya ternyata tengah mempersiapkan rencana kedepan. Lelaki yang kucintai, amat serius dengan hubungan ini. Aku bahagia, amat sangat.

......
             

Hari telah berganti, lusa pun tiba. Disaat penghuni rumah lain masih tertidur lelap karena cahaya matahari belum nampak, keadaan di rumahku berbeda. Sayup-sayup kudengar banyak suara bergema di telinga. Ku berjalan keluar kamar, ternyata sudah banyak tamu. Aku tertawa, aneh sekali, mereka lebih bersemangat dibanding calon pengantinnya.

Mereka semua berlinangan air mata. Aku tertawa lagi, tak kusangka lamaran ini membawa banyak kebahagiaan bagi orang-orang disekelilingku.

"Anakku kenapa kamu meninggalkan ibu!!!" Ibuku berteriak histeris. Apa maksudnya? Meninggalkan? Bahkan tubuhku ada didepan wajahnya, mengapa ia terus meneriakkan kata-kata seperti itu? Ah aku mengerti, mungkin yang ada dipikiran ibuku setelah menikah nanti aku takkan lagi tinggal disini. Ibu, bahkan ini baru lamaran.

"Yang sabar nak, kedatanganmu sungguh terlambat. Mereka lebih dahulu datang dengan maksud yang sama denganmu, melamar anakku.

Mahar yang sungguh mahal nak, mereka membawa ajal." Kata bapakku menahan tangis.

Share:

Saturday, January 13, 2018

Draft 1.1


"Saya jahat ya sama kamu.."

Entah itu adalah pertanyaan atau pernyataan, cuma kamu yang tahu, dan kali ini aku berusaha menulis tentang dirimu.

Jujur, menulis tentang percakapan kita, atau kamu lebih tepatnya adalah hal terakhir yang akan aku lakukan, karena tak ada hal menarik, hanya rentetan pesan panjang dariku yang dibalas seadanya olehmu; berisi tentang makian kasar seolah pesanku sangat tidak penting.

Apa salahku? Apakah memiliki perasaan terhadap dirimu adalah sebuah kesalahan besar? Memangnya aku yang mau?

Ya. Kataku membalas pesan darimu.

Kamu jahat, karena kamu membiarkan aku hidup menanggung beban perasaan ini, tanpa tau harus dibawa kemana, dan harus kuapakan.

Kamu jahat, karena kamu membiarkan aku menunggu, beribu hal yang tak pasti bagaimana ujungnya yang semakin kupikirkan semakin banyak benang-benang kusut timbul dan mengikatku lemah.

Kamu jahat, karena jika memang rasa itu tak pernah hadir, tetapi kamu membiarkanku larut terhadap perasaan ini bukan mengusirku pergi.

Kamu jahat, tetapi mengapa raga ini masih berdiam didepan pintu hatimu, masih menunggu sebagai rumahmu, dan mengiba tentang akhir yang bahagia.

Share: